Perajin Batik Gumelem Kulon Berharap Produknya Setenar Batik Solo

By Abdi Satria


nusakini.com-Banjarnegara-Desa Gumelem Wetan dan Kulon Kecamatan Susukan sudah lama menjadi sentra batik tulis di Kabupaten Banjarnegara. Ada puluhan perajin batik di sana. Meski keberadaannya sudah puluhan tahun, namun nama batik Gumelem tidak setenar batik Pekalongan dan batik Solo.  

Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, Minggu (6/10) berkesempatan mengunjungi dua perajin batik di Desa Gumelem Kulon. Dua workshop yang dikunjungi adalah milik Sartinem dan Ngisriah. 

Kepada Wagub yang akrab disapa Gus Yasin, di tempat produksi dan rumahnya yang sederhana, Ngisriah mengatakan, sebagian besar perajin masih menggunakan cara-cara pemasaran tradisional, yakni dari perbincangan antarkonsumen atau diambil oleh pedagang. Sehingga, perputaran barangnya tidak tinggi. Dinas yang mengampu UKM di Banjarnegara, dinilai kurang tanggap dengan kesulitan perajin. “Dari dinas itu kurang tanggap. Padahal kita ingin mempertahankan batik tradisional,” ujarnya. 

Ibu empat orang anak itu berharap, batik tulis Gumelem bisa seterkenal batik Pekalongan dan Solo. Sebab, dari segi kualitas bahan dan kekhasan motifnya juga tidak kalah. 

“Warna batik gumelem khasnya warna klasik. Tapi konsumen tinggal pilih, mau yang klasik atau modern. Ciri khas warnanya didominasi coklat, hitam dan kuning. Motifnya berbeda dengan daerah lain. Seperti cebong kumpul, blabagan dan gabah sarungging,” jelasnya.

Perajin yang sudah menekuni batik tulis selama puluhan tahun itu juga menyampaikan soal kesulitan mendapat modal. Dia tidak memiliki barang yang bisa dijaminkan ke bank untuk mendapat pembiayaan. 

Mendengar kendala soal permodalan, Wagub yang akrab disapa Gus Yasin menginformasikan, pengusaha kecil di Jawa Tengah bisa mengajukan pembiayaan di Bank Jateng. Pengusaha kecil dapat mengajukan pembiayaan hingga Rp20 juta tanpa agunan. 

Lebih lanjut, Gus Yasin mengaku miris dengan kondisi perajin batik di Gumelem Kulon. Sebab, perajin batik di daerah lain di Jawa Tengah rata-rata sudah maju. 

“Di sini kondisi perajin batiknya masih di bawah rata-rata. Bahkan yang memroduksi saja, kondisinya masih seperti itu (sangat sederhana). Maka saya harapkan dari potensi yang ada, bisa kita pasarkan bersama-sama,” pintanya. 

Program Satu SKPD Satu Desa Binaan, imbuhnya, juga termasuk memberdayakan dan memromosikan potensi desa yang menjadi binaannya. Tidak sekadar membangun RTLH dan jambanisasi. 

“Inilah manfaatnya kita bikin program Satu SKPD Satu Desa Binaan. Sehingga bisa kita lihat, kita potret, kita temukan, apa sih yang dimiliki desa yang kita bina. Bukan hanya mengentaskan RTLH, bukan hanya jambanisasi, tapi bagaimana kita membantu memasarkan potensi/ produk yang ada, sehingga bisa terangkat semua,” tutupnya.(p/ab)